#30HariBercerita Menikah, dan Menjadi Orangtua Sebelum Siapnya (Bag.1)

Beberapa hari lalu, aku baca sebuah status Facebook dari seorang teman. Isinya kira-kira begini:

"Ih enak ya yang udah menikah, tinggal nunggu punya anak aja."

Menurutku ada yang aneh dari status di atas. Karena menikah, dan menjadi orang tua adalah dua tanggung jawab baru yang harus kamu emban. Enaknya di mana?

Beberapa teman berpikir, kalau menikah adalah cara untuk mengurangi masalah. Seolah, setelah menikah, semua akan menjadi serba mudah. Ada iya-nya, ada juga tidak-nya.
Kenapa iya, dan kenapa tidak, bahwa menikah itu memudahkan segalanya?

[caption id="attachment_426" align="alignnone" width="2000"] Menikah, tak sesederhana "Will you marry me?" "I do"[/caption]

Kenapa iya? Karena, setelah menikah kamu tidak perlu lagi memikirkan masalahmu sendirian. Tentu, dua kepala lebih baik daripada satu, kan?

Tapi tidak juga, karena semua orang punya masalahnya masing-masing. Kalau kamu masih berkutat di permasalahanmu sendiri, jangan berpikir kalau menikah itu memudahkan semuanya. Jika kamu pikir, masalahmu selesai setelah menikah, kamu salah. Kamu akan punya permasalah baru yang lebih kompleks.

Karena itu, mungkin orang-orang yang kenal secara pribadi denganku dan menikah duluan, kadang mendapatkan ucapan skeptis "selamat naik kelas" atau "selamat datang di neraka hidup tingkat baru". Karena menikah, bukan sekedar menjadi halal dan melakukan hubungan seksual secara legal. Lebih dari itu, menikah adalah komitmen. Komitmen yang kamu sepakati untuk dijalani bersama pasanganmu (yang notabenenya adalah orang asing) selama sisa hidupmu nanti.

Bukan lagi tentang "aku ingin begini, dan kamu harus mengerti." Tapi tentang "aku ingin begini, kalau kamu mau begitu, kita enaknya bagaimana?" Bukan tentang "kamu harusnya begini dan begitu." tapi tentang "aku kurang suka kamu begitu karena ini dan itu, baiknya bagaimana ya?" Juga soal bertambahnya satu peran lagi yang harus kita jalani.
Menikah itu soal menambahkan satu peran yang perlu kita jalani

[caption id="attachment_427" align="alignnone" width="1279"] Bertambahnya peran menjadi pasangan, tentu tidak membuatmu mudah, kan?[/caption]

Banyak yang tidak tahu atau tidak sadar, bahwa hidup ini soal menjalani peran-peran yang dibebankan orang lain kepada kita. Mulai dari menjadi anak dari orang tua kita, sebagai kakak dari adik kita, adik dari kakak kita, sampai menjadi tetangga, menjadi teman, menjadi mahasiswa tingkat akhir yang tidak lulus-lulus, menjadi pekerja dan menjadi diri sendiri.

Banyak peran di atas, yang mungkin requirement-nya berbeda-beda dan sering kali bertolakbelakang. Misalnya, menjadi teman mengharuskan kamu cukup tau diri, sedangkan menjadi diri sendiri berarti kamu harus jujur tentang perasaan sayangmu ke dia. Jadi temen aja itu, nggak pernah enak. :(

Dengan menikah, kamu menambahkan banyak peran baru dalam hidupmu. Jadi pasangan untuk pasanganmu, jadi menantu dari mertuamu, jadi adik dari kakak iparmu, jadi kakak dari adik iparmu. Kamu mendadak punya orang tua, adik dan kakak baru. Bagus kalau mereka semua baik, kalau menyebalkan? Berarti kamu harus punya lebih banyak pemakluman.
Pernikahan di Indonesia, adalah pernikahan yang lebih tentang "Harus begini dan begitu, biar nggak diomongin jelek sama orang."

[caption id="attachment_428" align="alignnone" width="2000"] Bahkan kalau makanannya kurang aja, bisa jadi bahan omongan[/caption]

Mengutip ucapan seorang teman, "Nikah ki ncen nggo mangani tonggo." (menikah itu emang buat makanin tetangga.) @yusrilfahriza

Kalau ada yang bilang "menikah di Indonesia itu bukan cuma pernikahan dua orang, tapi juga dua keluarga." Itu benar, tapi belum tepat. Lebih tepatnya lagi, "Menikah di Indonesia itu bukan cuma pernikahan dua orang, tapi dua keluarga dan menjaga omongan orang."

Karena "menjaga omongan orang" inilah, kenapa biaya pernikahan di Indonesia melambung pesat. Catering kalau nggak enak, nggak mau. Tempat, kalau nggak di gedung, nggak mau. Bahkan gaun saja, kalau enggak bagus, enggak mau. Untung, kalau pasangan nggak ganteng atau cantik, asal sayang, nggak apa. :')

Harusnya, kita menyadari hal itu, dan berpikir ulang, untuk siapa kita menikah? Apakah untuk diri sendiri dan pasangan, atau hanya supaya tidak diomongin orang karena sudah usia matang tapi belum menikah juga?

Karena, menikah itu adalah tentang kamu yang akan menghabiskan sisa waktu hidupmu dengan pasanganmu. Tentang kamu yang akan setiap hari melihat wajah pasanganmu ketika bangun tidur tanpa alis gambarannya. Tentang kamu yang akan melihat pasanganmu mulai dari kurus sampai bergelambir setelah punya anak dua atau tiga. Tentang kamu yang akan mencuci pakaian pasanganmu yang baunya luar biasa karena kehujanan dan didiamkan begitu saja. Juga tentang pemakluman-pemakluman lainnya.

Menikah itu memang tak pernah soal usia, tapi soal kesiapan diri untuk berbagi dan saling mengisi. Tentang kesiapan diri untuk banyak memaklumi. Tapi, jika semua sudah kamu persiapkan dengan baik, yakin, tak akan ada yang kamu sesali.

Tentang menjadi orang tua, yah.. Mungkin lain waktu kita lanjutkan lagi.

Komentar

  1. Aku senyam senyum sendiri baca ini, komennya dalam hati aja ya, Mas :')

    BalasHapus
  2. he em. bener sekali. naik kelas dan pemakluman yang harus dijalani karena pasti terjadi.

    soal jadi omongan tetangga, biasanya cuma terjadi pasca pestanya aja sih. daaan...kalau ada sesuatu yang ga 'sesuai' dengan kondisi 'normal' kayak belum dikaruniai momongan.

    :-D

    BalasHapus
  3. Betul, mas. Hahaha Banyak yang enggak sadar soal "naik kelas" itu berarti masalahnya "lebih kompleks" bukan "lebih mudah" fufufu yang penting nikah cepet :))

    Emang omongan tetangga ini banyak mempengaruhi yak :))

    Makasih sudah mampir mas.

    BalasHapus
  4. Duh, Mbak Nesa. :')
    Udah tau mau jawab apa, kan, kalau ditanya "kapan nikah"?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer