#30HariBercerita Menikah, dan Menjadi Orangtua Sebelum Siapnya (Bag.2)

Melanjutkan tulisan sebelumnya yang membahas tentang menikah. Menikah, tidak menyelesaikan masalah, justru ia seperti sebuah masalah baru yang lebih kompleks. Mulai dari soal materi seperti urusan gedung, catering, dan mas kawin. Sampai dengan omongan tetangga dan kesiapan mental satu dengan yang lainnya.

Kalau kamu pikir, semua berhenti di situ, kamu kurang tepat. Masih ada masalah yang lebih kompleks lagi setelah menikah3, yaitu

Menjadi orangtua


Pernah kan, kita datang ke undangan pernikahan teman SMA, SD, atau SMP, apalagi di usia memasuki seperempat abad, dan melihat teman-teman perempuan ataupun laki-laki membawa pasangannya, yang menggendong makhluk maha lucu dengan baju-baju lucunya. Mulai yang dipakaikan setelan jas atau rompi formal lengkap dengan dasi kupu-kupu, ataupun dengan gaun terusan warna pink atau kuning plus bandana dan sepatu berhak yang ukurannya dua tiga kali lebih kecil dari ukuran telapak tanganmu.
Duh, lucu bangeeeett. Kapan ya aku punya yang kayak gini? Pokoknya nanti anak aku bakal lebih lucu dari dia.

Yang kamu lihat, adalah satu atau dua jam dari ribuan jam keseharian temanmu mengurusi makhluk kecil yang maha lucu tersebut.

Kamu lupa, ada proses yang lebih panjang dari itu? Mulai dari 9 bulan mengandung, dari yang cuma harus menjaga kesehatan badan dengan makan buah dan sayur teratur, sampai harus terganggu waktu tidurnya karena perut yang terlalu besar dan harus bulak-balik kamar mandi karena selalu ingin buat air kecil.

Proses mengandung, cuma dirasakan sulitnya oleh perempuan? Salah. Laki-laki juga korban kesulitan yang terjadi. Mulai dari harus kerja ekstra keras untuk mengumpulkan biaya persalinan yang makin hari makin mahal, sampai harus rela jadi kambing hitam untuk semua badmood pasangan perempuannya.

Ditambah lagi, ada syndrom-syndrom-yang-entah-benar-entah-tidak, jika pasanganmu mengandung anak laki-laki, maka dia akan terlihat lebih lusuh dibanding jika mengandung anak perempuan.

Sebagai makhluk visual, melihat pasanganmu lusuh meski sudah berdandan, meski tak seberapa mengganggu dan samasekali bukan masalah, tetap jadi ganjalan tersendiri di lubuk hati paling dalam. Iya, kan? Atau aku doang?

Banyak proses untuk menjadi orangtua, bukan hanya sekedar berhubungan badan dengan cinta lalu jadi begitu saja. Tapi butuh banyak persiapan yang matang dan harus dipikirkan dengan benar.
persiapan mental, hal paling krusial yang sering kali luput dipikirkan benar-benar

[caption id="attachment_450" align="alignnone" width="600"] Menjadi orangtua, dan persiapan mental[/caption]

Pernah lihat, ada orangtua yang memukul anaknya seperti memukul maling ayam milik tetangga, sadisnya luar  biasa? Pernah lihat juga, ada orangtua yang ketika anaknya jatuh dan nangis, justru dimarahi dan dicubit? Orangtua yang hanya sibuk bekerja dan meninggalkan anaknya ke pembantu, dan merasa uang bisa menyelesaikan semua masalah si anak?

Masih banyak, sangat banyak, menurutku, sikap orangtua-orangtua yang seharusnya tidak dilakukan ke anak. Dan penyebab utamanya adalah, kesiapan mental.

Betul, menjadi orangtua itu sangatlah tidak mudah. Harus bangun dini hari karena anak nangis kelaparan, harus mencari uang untuk biasa susu, sekolah, buku, dan segala macam keperluan, harus menjadi orang yang sangat paham bagaimana cara multitasking.

Satu lagi peran bertambah, bukan berubah, tapi bertambah.

Memiliki anak adalah seperti masuk ke medan perang yang kamu tidak tahu siapa musuhmu. Suatu waktu ia menjelma pasanganmu, sering kali menjelma jadi dirimu.

Kalau anakmu kamu dapatkan setelah menikah4, mungkin kamu sudah tahu resikonya walau banyak juga yang tidak. Kalau anakmu didapat karena kebodohan masa muda? Bagaimana nasibnya?
Persiapan Materi, yang tidak kalah penting dewasa ini

Tingginya biaya persalinan, mahalnya harga susu formula, biaya sekolah yang tinggi, belum lagi kalau anak minta ini itu. Kamu nggak mau kan, dibacok anakmu karena enggan membelikan motor? Kalau ini sih bukan masalah materi, tapi masalah bagaimana kamu membesarkan anakmu. hehe

Tapi seperti orangtua kebanyakan, kita pasti mau anak kita dapat yang terbaik. Sekolah yang terbaik, fasilitas yang terbaik, lingkungan terbaik dan semua hal baik lainnya. Dan, dewasa ini, semua yang terbaik punya harga yang sangat baik juga secara nominal. Kecuali keluarga yang baik, itu harus dibentuk sama-sama, bisa gratis. :)

Tapi jangan salah, materi bukan kebutuhan utama dari membesarkan anak. Kehadiran orangtua justru yang menjadi poin pentingnya. Tak jarang orang sibuk bekerja berangkat pagi sebelum si anak bangun, pulang malam setelah si anak tidur. Bahkan untuk bertemu pun sulit. Hasilnya? Anakmu akan merasa asing dengan orangtuanya. Memendam masalahnya sendiri karena tidak merasa dekat dengan orangtuanya. Semoga, anakmu tidak lupa memanggil kamu dengan sebutan "Om" atau "Tante".

 
rencana, rencana, dan rencana

Bagi sebagian orang, membuat rencana adalah sebuah kebiasaan yang mudah, tapi bagi sebagian lagi membuat check list, membuat rencana jangka panjang, adalah hal yang rumit. Butuh konsistensi yang luar biasa baik untuk menjalankan segala rencana jangka panjang.

Beruntunglah kamu, jika menikah5 dengan pasangan yang memiliki kebiasaan untuk merencanakan masa depan dan segala sesuatunya secara detil. Bagaimana jika kamu menikah6i orang yang tidak tahu apa itu rencana? Orang-orang yang merayakan hari ini saja, seperti kata Float, "Lets's just celebrate today, tomorrow is too far away." dan menyebalkannya lagi, kamu juga tipe orang yang sama?

Menjadi orangtua berarti kamu harus merencanakan, akan sekolah di mana dia, akan tinggal di lingkungan seperti apa dia, bagaimana peranmu dan pasanganmu untuk selalu ada baik secara penuh dan tumbuh kembangnya, lalu juga soal pendidikan lanjut, dan lain-lain.

Banyak orangtua melemparkan begitu saja pendidikan anaknya ke sekolah-sekolah berasrama, baik non keagamaan, maupun keagamaan. Lalu melepaskan begitu saja tumbuh kembang anaknya dikontrol orang lain. Saya, sebagai salah satu orang yang pernah merasakan bagaimana tinggal di asrama keagamaan, merasakan betul efeknya.

Tinggal di asrama, punya doktrin bahwa harus nurut sama pemimpin sekolah asrama, sosok yang memang ada di sana. Sementara menuruti orangtua diajarkan dengan doktrin yang tidak sekuat itu.

Jadi, jangan heran, kalau banyak anak-anak yang dulunya tinggal di asrama, lebih "memuja" pimpinan sekolah asramanya daripada orangtuanya sendiri. Untuk hal ini, lebih lanjut akan saya coba bahas di tulisan berikutnya. Menurut pandangan saya pribadi.
menjadi orang tua, bukan sekedar punya anak, dan dipanggil "ayah" "ibu" dan panggilan-panggilan lainnya, tapi akan jadi tanggungjawab yang menyenangkan melihat si kecil tumbuh dan berkembang



Sudah dijabarkan di atas, menjadi orangtua tidak sederhana, tidak pernah sederhana. Tapi kamu akan tahu rasa menyenangkannya, pertama kali mendengar anakmu bicara, memanggilmu dengan panggilan yang ingin kamu dengar untuk pertama kalinya, menangis tiap kali melihatmu pergi sedikit jauh.

Mungkin begini, rasanya orangtua kita, membesarkan kita dengan penuh rasa syukur dan bangga. Bahkan ketika diri kita sendiri tidak bangga, orangtua akan selalu bangga, bahwa anaknya bisa tumbuh dan menjadi manusia sebaik ini, sebaik kita.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer